Kuterima pinangannya sebelum aku mencintainya

Sebenarnya saya sedang pusing nyari ide buat tugas kuliah. Tapi berhubung belum nemu juga, jadilah saya istirahat dulu dan main ke dunia blog. Waktu baca lagi cerita Galih dan Ratna, saya jadi ingat cerpen lama saya (belum lama-lama banget sih) yang saya upload di facebook. Saya baca lagi, eh..kok rasanya nyambung sama cerpen yang kemarin, bisa jadi sekuelnya nih. Hihi…sekuelnya malah udah ditulis duluan :P. Ya udah, saya post di sini juga ya. Meskipun nggak nyambung-nyambung banget, tapi disambung-sambungin ya. Hehe…maksa… 😀

——————————————

Kuterima pinangannya sebelum aku mencintainya

“Ibu, aku mau menikah dengan Ayah.”
“Kenapa nak? Kamu tidak  boleh menikah dengan Ayah, dia suami Ibu. (senyum)”
“Kalau Ibu sudah selesai menikahi Ayah, bolehkah aku menikahi Ayah?”
“Hihi.. Ibu tidak akan pernah selesai, Nak. Kau harus menikah dengan orang lain.”
“Boleh aku mengenakan kebaya putih panjang itu Bu?
“Tentu saja.”
“Dimana kami akan hidup bahagia selamanya.”
“Jika kau menikah dengan orang yang sangat mencintaimu.”
“Seperti Ayah.”
“Ya, seperti Ayah.”

Kupeluk gadis kecilku erat. Kubelai rambutnya supaya dia segera tidur. Sementara pikiranku bermain-main ke masa lalu. Masa 8 tahun yang lalu ketika kuputuskan mengakhiri penantian panjangku dengan menerima pinangan seseorang yang tak pernah kucintai sebelumnya. Seseorang yang datang tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa puisi cinta. Memang aku sudah mengenal dia sebelumnya. Dia hanya datang tiga kali: pertama menawarkan masa depan bersamaku dengan cinta sederhana, kedua: menanyakan jawabanku, ketiga: melamarku ke orang tuaku. Kami menikah. Dia mendasari pernikahan kami dengan niat tulus, membangun keluarga, meraih surga dalam keluarga. Dengan cinta sederhana, dengan pengertian, dengan tanggung jawab. Bukan cinta yang menggebu, bukan cinta yang penuh cemburu, bukan cinta yang mengharuskan kamu menjadi seperti yang kumau. Aku menerimanya karna ketulusannya, karna tanggung jawabnya, dan karna niatnya membangun keluarga sebagai ibadah kepada-Nya. Dia mencinta-Nya, menghidupkan hidupnya demi mencintai-Nya. Aku menerimanya bukan karna aku telah mencintainya. Bukan. Saat itu aku hanya ingin segera beranjak dari penantian panjang tanpa kepastian. Penantianku, penantian adikku, penantian kami. Sesungguhnya kami tak tau kapan penantian itu akan beraakhir. Dan aku memilih mengawalinya. Aku memilih masa depan yang lebih pasti, bersama dia yang berani menawarkannya.

Saat itu aku berpikir lebih baik aku mengalah. Ya, aku menempatkan diriku dalam posisi ‘kalah’ ketika aku memutuskan melepaskan harapan yang telah kugantung bertahun-tahun lamanya. Tapi ternyata aku keliru. Aku bukan menjadi yang kalah, tapi aku justru menang, menang melawan cinta yang menepikan logika, menang melawan keegoisanku, menang melawan hawa nafsuku, menang melawan ketakutanku akan masa depan tanpa seseorang itu. Meski aku hanya manusia biasa yang tak mudah mengikhlaskan apa yang dicintainya. Namun bersama dia, aku mampu belajar mengikhlaskan masa lalu, dan mulai belajar mencintainya. Tak sekali dua kali aku menangis ketika mengingat masa lalu. Namun dia dengan segala pengertiannya mampu menghapus air mataku, menenangkanku, mengajakku berdoa. Dia bahkan tidak marah ketika tahu bahwa ingatan akan masa lalu-lah yang mengalirkan air mataku. Dan waktu mendewasakan semuanya. Mengikhlaskan masa lalu, juga mengikhlaskan diri menjalani hidup mengikuti kehendakNya, bukan kehendakku.

Belajar mencintai memang tak semudah membalikkan tangan. Belajar setiap hari, sampai aku lelah dan memilih membiarkan semuanya mengalir seperti air. Aku memegang komitmen yang telah kuucap di depan Tuhan dan jemaat, untuk menerimanya menjadi suamiku, mencintainya dalam susah dan senang, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, menghormatinya dan patuh kepadanya. Dan aku pun mengingat janji yang juga dia ucap, bahwa dia menerimaku sebagai istrinya, mencintaiku dalam susah dan senang, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, melindungiku, dan bertanggung jawab atasku. Perjanjian itulah yang meneguhkan pernikahan kami, mengikat kami dalam kesucian pernikahan. Berpegang pada janji itu membuat kehidupan pernikahanku kujalani dengan ringan dan bahagia. Aku tak memaksakan diri untuk mencintainya. Namun ternyata, cinta itu telah tumbuh dengan sendirinya. Cinta yang dewasa. Bukan cinta membara yang mudah mati ketika badai masalah menerpa.

Tuhan mengajar melalui masalah dan pengalaman. Kehidupan pernikahanku mengajarkanku bahwa cinta bukanlah segala-galanya. Apalagi jika yang disebut cinta itu adalah ketika kamu tak bisa tidur karna merindukannya, ketika kamu marah ketika dia lupa membalas pesanmu, ketika kamu cemburu ketika dia izin makan malam dengan koleganya. Ah, cinta menggebu itu mudah mati, sangat mudah mati, jika kita tidak menumbuhkannya menjadi cinta yang dewasa. Cinta yang mengedepankan saling pengertian, cinta yang menempatkan percaya dan setia, cinta yang mengingat komitmen yang telah diucapkan bersama-sama dan cinta yang bertanggung jawab untuk mempertahankan komitmen itu. Aku pun mulai belajar untuk lebih mengerti suamiku, setia kepadanya, bertanggung jawab atas apa yang telah kuikrarkan. Menutup buku masa lalu, dan membuka buku baru yang sama sekali baru. Kami berdua memegang pena kami masing-masing dan menuliskan kisah hidup kita di buku yang sama. Karna hidup kami sekarang telah menjadi satu meski dalam dua raga, dua pena.

Puji nama Tuhan yang telah memilihkan suami yang begitu mengasihiku. Suami yang tetap mengasihiku sejak aku belum mencintainya. Suami yang bersamanya mampu kuhapus masa lalu, menjadikannya hanya kenangan semata. Jika kamu ingin bahagia dengan masa depanmu, tutuplah masa lalumu. Percayalah, ketika kamu kehilangan sesuatu, Tuhan telah menyediakan yang baru jika kamu mengikhlaskan kepergiaannya. Bahkan Tuhan akan memberimu lebih. Aku telah belajar dari itu semua. Tuhan tak hanya memberiku suami yang mencintaiku, tapi juga putri kecil kami, Langit, tempat ditaburnya segala keindahan.

Ah…suara motor suamiku terdengar. Dia sudah pulang dari lembur di kantornya. Putri kecilku sudah lelap di pelukku. Kulepas pelan pelukannya dan kubukakan pintu untuk suamiku.

“Capek Yah?”
“Sedikit. Tapi melihatmu, capek Ayah hilang.”
“Aih..Ayah merayu. Sudah, mandi dulu sana, biar capeknya bener-bener hilang.”

Suamiku menurut saja apa kataku. Dia mandi sementara kusiapkan makan malam untuknya..juga untukku. Aku memang menunggunya pulang untuk makan malam bersama. Selesai mandi, kami duduk berdua di meja makan, bercerita banyak hal di meja makan, biasanya tentang pekerjaannya dan obrolan seputar keluarga. Kami melanjutkan obrolan di sofa depan tv. Kuceritakan padanya tentang putri kecil kami.

“Ayah, tadi ada yang minta izin sama Ibu untuk menikahi Ayah.” kupasang ekspresi datar. Dia terkejut.
“Ibu, jangan bercanda ah. Ayah tidak pernah punya pemikiran untuk menikah lagi. Siapa dia Bu?”
“Lala, Yah. Lala ingin menikahi Ayah. Katanya kalau Ibu sudah selesai menikahi Ayah, dia mau menikah dengan Ayah.”
“Hahaha..Lala ada-ada saja..lalu Ibu bilang apa?”
“Tentu saja Ibu tidak izinkan. Ayah kan suami Ibu, Ibu tidak akan pernah berhenti menikahi Ayah. Kamu harus menikah dengan orang lain yang mencintaimu, seperti Ayah, tapi bukan Ayah.”
“Hihihi…Ibu yang hebat.” lalu ciuman pun mendarat di pipiku dan cumbuan demi cumbuan mengikutinya.

Ah, maaf ya, harus kuakhiri tulisan ini sampai di sini. Aku tidak ingin kalian tau apa yang selanjutnya terjadi.. ^_^

——————————————————————————————

20 thoughts on “Kuterima pinangannya sebelum aku mencintainya

  1. yustha tt says:

    Catatan penulis:

    * Obrolan ibu-anak di paragraf pertama diambil dari film Fireproof.
    * Cerita dalam tulisan ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan dengan kisah hidup Anda….yaaa….mungkin memang kisah demikian banyak terjadi di kisah nyata… *cieee…pede :P*
    * Cerita ini adalah hasil imajinasi dan pengumpulan kemungkinan-kemungkinan. Jika terlalu idealis, ya maaf saja, saya belum menikah soalnya, jadi ya begitulah… 😀
    * Kritik dan saran membangun sangat diharapkan demi perbaikan tulisan-tulisan di masa mendatang..
    * Hehe….maturnuwun..terimakasih….arigatou ne… ^_^

    Salam,
    Yustha Tt

  2. nique says:

    ealah lagi asyik baca ceritanya kok disuruh udahan sih? ga seru ah …

    kapan ada lanjutannya? 😀

    hihihi…habisnya lanjutannya itu anu…mmm…secret… hihihi… 😉

  3. mylitleusagi says:

    laikk thisss
    suka sama quote ini
    “mengikhlaskan diri menjalani hidup mengikuti kehendakNya, bukan kehendakku”

    belajar mencintaiii,, mungkin sulit tapi pasti bisa,,
    kalau mau… 🙂

    Hehehe….thank you Put… ^^
    Yup, krn yg menurut kita baik kdg blm tentu baik menurutNya. Jadi lebih baik mengikuti kehendakNya saja 🙂

    kuncinya itu ya Put: mau 🙂

  4. Orin says:

    lah…lagi seru2nya kok udahan toh??? qiqiqiqi

    hihihi…kelanjutannya konsumsi pribadi….
    #penulis blm bisa mengimajinasikan, hwahahaha… 😆

  5. Budi Arnaya says:

    Kwkwkwkwkw aku dibikin geregetan…karena berhenti tengah jalan…tadi sempat tegang membacanya..terakhir kendur lagi…menunggu nich

    Hihihihi….maaf ya Bli, ditahan dulu ceritanya… 😉

  6. Evi says:

    Aiiiihhh So sweet. Untuk bahagia dimasa depan kita harus menutup pintu di masa lalu..Hm…Sangat dalam Mbak.Tt..Suka sekali cerpen ini

    Terimakasih Uni… Semoga menginspirasi banyak orang ya Uni… Amin.

    Btw, Uni panggilnya Tt aja Uni, gk usah pakai mbak. Hehe…

  7. Bibi Titi Teliti says:

    whuaaaa…
    beneran nih fiksiiii? kok kayaknya dalem banget yak…hihihi…

    eh…eh…tapi kita bener bener sepaham lho…
    aku pernah bikin postingan juga…yang isinya kurang lebih seperti ini …
    *tapi tentu saja dengan gaya yang gak sekeren ini laaah…*

    Bahwa cinta yang menggebu gebu itu melelahkan…kita butuh cinta yang bisa bikin hati jadi nyaman…

    cari dulu ah link nya biar manteb…

    Lagi-lagi diragukan kefiksiannya 😦

    Setuju mb Er, kita butuh cinta yang nyaman, bukan yg menggebu…

  8. Mak Cebong 3 says:

    Baguuuusss Mba, dalem boo 😉

    Ayooo bikin lagi yang kaya begini Mba 🙂

    Btw congrats tulisan Mba Tt terpilih sebagai salah satu juara di Sawerannya Mak Cebong. Silahkan ditengok sendiri pengumumannya di rumah Jeng Nia 🙂

    *asyiiikkk Aunty Cinderella menang, Double Zee kecipratan traktiran neh hihihi*

    Hihi..makasih mb Sus..
    Ntar deh kalau ada ide lagi kubikin cerpen lagi… 🙂

    Uuu…makasih ya mak Cebong 1,2,3 yg udah milih tulisanku jadi salah satu pemenang. Senang rasanya…

    *tante bakal dapet coklat dari double Zee nih… 😉

  9. fitrimelinda says:

    haruskah aku menerima pinangannya walau tak ada perasaan istimewa untuknya?? 🙂

    Ini bukan tentang harus atau tidak harus kok Fit, ini pilihan..
    Tanyakan lagi pada niatmu, tanyakan lagi pada hatimu… 🙂

  10. prih says:

    Asyik bercerpen ria jeng Tt, dapat saweran dari ngontes juga khabarnya. Salam

    Iya ni Ibu, gara2 kemarin nyerpen ni Karsini-nya Om Nh, jadi keterusan deh.. 🙂
    Puji Tuhan Bu, yang apes2 menggelikan itu dapet nomor juga akhirnya.. Hehe…

    Salam, Bu..

  11. Lyliana Thia says:

    bagus deh mbak Titi ceritanya… cinta yang dewasa itu juga proses yah.. asal mau berusaha pasti bisa.. ^_^

    makasih sudah menginga tkan lewat cerita ini mbak… ^_^

    endingnya juga bikin penasaran nih.. heheheeee
    ———————————————————————————————————–
    Hehe….makasih mb…. 🙂
    Masih belajar nulis ni mb..

  12. anna says:

    bagus ceritanya….
    biarpun settingnya sederhana, gak belibet… tapi justru itu yang bikin bagus.. dalem gitu…
    sayang kenapa harus berakhir di situ saja… #eh

    wkwkwk….bener ni mau dilanjutin?
    Ibu malu tuh katanya… Hihihi…

Any comments?