Lima Menit

Saya sedang duduk di bangku panjang di samping mushola sore itu, ketika seorang perempuan datang dan ikut duduk di bangku yang sama. Saya hanya menoleh dan tersenyum, seolah mempersilahkan dia duduk di sebelah saya.

“Mau sholat mb?” sapanya mengawali pembicaraan. Saya hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Sedang menunggu seseorang?” tanyanya lagi. Kali ini saya menjawab karna sepertinya perempuan itu ingin mengajak saya ngobrol.
“Iya, nunggu teman saya lagi sholat.”
“Teman lelaki?”
Saya tersenyum yang artinya iya.
“Pacarnya?”
Kali ini saya tidak bisa menjawab. Menggeleng atau tersenyum pun tidak. Ada sedikit sebal di hati saya. Kenapa juga perempuan ini bertanya terus menerus seolah-olah menyelidiki saya. Tapi pertanyaan terakhir ini memang tidak bisa saya jawab. Sebenarnya bisa. Jawabannya adalah bukan. Tapi saya enggan untuk menjawab. Saya hanya menunduk sambil menghela nafas.

Tiba-tiba perempuan itu mendekat ke arah saya, mengusap-usap punggung saya dan menarik tubuh saya ke dadanya. Dia seolah ingin menenangkan saya karna dia sadar pertanyaannya telah membuat hati saya berantakan.

“Maaf ya, saya banyak nanya, padahal kita belum kenal. Maaf juga kalau pertanyaan saya bikin kamu sedih.” Katanya sambil mengusap punggung saya.
“Tidak apa mbak.” Senyum saya masih tetap saya pasang demi menutup perasaan yang tak karuan.
“Kalau saya tidak salah menangkap, saya pernah jadi kamu.” Perempuan itu menerawang sambil tetap merangkul saya. Ini adalah awalan dari ceritanya yang kupikir akan panjang.
“Saya pernah sangat dekat dengan laki-laki. Telah menganggapnya bagian hidup saya. Dan saya pikir, saya tidak bisa hidup tanpa dia.” Saya memandang wajahnya yang menerawang sementara dia terus bercerita.
“Kami tidak pernah membicarakan hubungan. Kami hanya selalu bersama. Dan saya mencintainya.”

Jeda.

“Suatu hari saya bertanya pada diri saya sendiri: apakah dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya; apakah dia juga merasa kurang saat tidak bersamaku seperti aku saat tidak bersamanya; apakah dia bahagia bersamaku seperti aku bahagia bersamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di benak saya, meskipun selama ini saya selalu berkata: jalani saja apa adanya.” Dia menghela nafas.
“Saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Lalu dengan segala keberanian, saya bertanya pada laki-laki yang saya cintai itu. Dan kamu tau apa jawabnya?!”
Saya kaget mendapat pertanyaan itu. Saya kaget dia telah memandang saya setelah sedari tadi bercerita sambil menerawang memandang ke depan.
“Tidak mbak.” Jawab saya sambil juga membalas pandangannya, jelas saja saya tidak tahu.
“Ya, kamu benar. Dia menjawab “tidak”. Dia tidak mencintai saya, dia tidak merasa ada yang hilang saat tidak ada saya di sampingnya, ya..meskipun dia merasa senang jika sedang bersama-sama saya.”

Saya tertegun mendengar ceritanya. Saya membayangkan perasaannya saat itu ketika mendapati jawaban dari laki-laki yang dicintainya. Bagaimana hancurnya dia ya? Tapi saya tak ingin bertanya lebih dalam. Dari tadi pun saya tidak bertanya, dia yang ingin bercerita. Jadi biarlah dia melanjutkan sendiri ceritanya.

“Tentu saja saya sedih sekali mendengarnya. Sebagai perempuan saya merasa sakit. Saya menangis di kamar. Beberapa hari tidak beraktivitas seperti biasa. Saya terpuruk.”
“Tapi kemudian saya sadar, cinta itu kamu bukan aku. Bukan bagaimana aku jika tanpa kamu, tapi bagaimana kamu jika tanpa aku. Bukan tentang aku bahagia denganmu, tapi tentang apakah kamu bahagia denganku. Jika tidak, maka biarkan dia mencari bahagianya, karna kebahagiaannya adalah juga kebahagianmu. Kamu pasti akan merasakan kebahagiaan juga ketika kamu tahu dia bahagia meski tak bersamamu. Dan yang terakhir, bukan tentang aku mencintaimu, tapi apakah kamu juga mencintaiku. Maka jika tidak, sebaiknya kita pergi. Jika suatu hari nanti dia menyadari bahwa dia pun mencintai kita, dia akan mencari.”

Saya diam mencermati setiap kata dari perempuan yang merangkul saya sambil bercerita ini. Perempuan yang baru sekali ini saya temui dan dengan terbuka menceritakan masa lalunya. Perempuan yang dengan sekali bertanya bisa mengerti kedalaman hati saya. Perempuan yang dalam waktu 5 menit telah memberi makanan bagi batin saya. Dalam hati saya mengiyakan kata-katanya.

Sementara kami sama-sama terdiam, datang seorang laki-laki menghampirinya. Rupanya perempuan tadi sama seperti saya, sedang menunggu seseorang menjalankan kewajiban agama.

“Kenalkan, ini Heru, suami saya, laki-laki yang saya ceritakan tadi.”
Kami bersalaman. Dan saya mengerti, perempuan ini tulus dalam cintanya, menjadikan kamu sebagai cintanya dan bukan aku. Dan laki-laki ini akhirnya menyadari bahwa dia pun mencintai perempuan itu lalu mencarinya.

Mereka berpamitan sebelum laki-laki yang saya tunggu keluar dari mushola itu. Dan ketika laki-laki yang saya tunggu menghampiri saya, cerita perempuan tadi menggema di kepala. Cinta itu tentang kamu, bukan tentang aku.

.

.

.

[kantor, 30 April 2010, 13.10]
Terinspirasi puisi QK: Cinta itu Kamu, bukan Aku.

repost dari notes fb.

10 thoughts on “Lima Menit

  1. kikakirana says:

    Pertamaaaaaxxx kah?
    qkqkqkqkq,,, asyikkk… hhehehe 😛

    jadi bagus gini mbak,, bener” pas menggambarkan puisinya… jadi malu QK puisinya jadi seperti ini 😳 <<< keGeeRan :mrgreen:

    HIDUP!!! ^_^

    #tt
    makasih ya QK dah izinin puisinya diparafrasekan (bener gk ya istilahnya..xixi 😛 )
    puisi QK yang T.O.P, tt suka banget sama puisinya… 🙂
    Terus menulis ya..

    HIDUP QK!! ^_^

  2. fitrimelinda says:

    hmm…bagus ceritanya mbak..:)

    #tt
    makasih mb Fitri..
    kasih jempol buat QK mb…ni semua karna QK kok.. 🙂
    salam kenal ya mb..makasi udah mampir sini…

  3. didot says:

    bagus ceritanya,memang benar mbak,cinta itu kasih sayang,yg penting membahagiakan orang lain. lebih baik cinta kepada Allah,nanti pasti ada banyak yg cinta sama kita karena cinta kita cuma buat Allah 🙂

    #tt
    iya Bang Didot…makasih banyak buat saran2nya ya Bang…
    juga tulisan2 Bang Didot.. 🙂

  4. muiz says:

    kalau ada istri Mas Heru lain ….mantab ya Tik. Terus nasibnya saya bagaimana setelah ‘terendam’ dengan cerita istri Mas Heru?

    #tt
    akhir cerita diserahkan pada pembaca 😉

  5. nanaharmanto says:

    Baru lima menit, endingnya Mas Heru yang muncul…
    Kalau sepuluh menit, yang muncul Mas Hari kali ya? 🙂

    nice story, Ti…

    #tt
    ahahahaha…lebih lama lagi mas Heri kali ya…:D
    makasih mb Nana dah main2 ke sini…

  6. Ceritaeka says:

    Sulit untuk berkomentar Tik…
    Lebih enak kalo ngobrol langsung
    sensitif sekali…

    Anw… datang untuk bilang Miss u 🙂
    Hugs!

    #tt
    sulit berkomentar karna lama gk blogwalking sih… [-(

  7. anna says:

    betul banget T,
    cinta itu bukan ttg aku.. tapi kamu..

    *jadi bikin saya menerawang juga lhoo…menyelami hubungan antara saya dengan suami*

Any comments?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s