Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…
Akhirnya, waktu kepulangan Kinar tiba. Kinar telah menyelesaikan studynya tepat waktu. Penerbangan Jepang-Jakarta disambung Jakarta-Jogja kali ini penuh dengan rindu. Rindu pada kampung halaman, rindu pada keluarga, rindu pada…Barra. Meskipun beberapa waktu menjelang kepulangannya, Kinar merasakan sesuatu yang aneh pada diri Barra, tetapi tetap saja ada nama Barra dalam kerinduannya.
Pesawat tiba di bandara internasional Adi Sucipto Yogyakarta pukul 2 siang. Ah..akhirnya menghirup udara tanah air lagi, meski 8 bulan lalu sempat menghirup udara Bandung. Jantung Kinar berdegup kencang begitu turun dari pesawat. Jogja, sebuah cerita baru akan dimulai di tanahmu.
Semua menyambut Kinar dengan gembira, Bapak, Ibu, kakak-kakak, ponakan-ponakan. Waduh, ini seperti penyambutan presiden saja, semua datang menjemput. Tapi Kinar tak melihat sosok Barra. Sedih menjalar ke hatinya. Ah, sudahlah, keluargamu sebanyak ini sedang bergembira menyambutmu, jangan biarkan mereka bersedih melihat dukamu.
**
Sudah seminggu Kinar di rumah. Barra sudah mengabarinya dan meminta maaf tak bisa menjemputnya di bandara bahkan belum bisa menemuinya hingga saat ini karna sedang dinas ke luar kota. Kinar maklum karna memang begitulah pekerjaannya. Komunikasi mereka memang sudah tak selancar dulu. Juga beberapa kejadian yang kerap membuat Kinar bertanya-tanya. Tetapi Kinar tetap mencoba berpikir positif: Barra sibuk dengan pekerjaannya.
“Tante, jalan-jalan yuk. Tante ndak kangen po sama Jogja?” ponakan Kinar yang sudah semester 2 di Gajah Mada itu menyentak lamunannya.
“Kangen banget, Re.. Yuk, jalan-jalan ke Malioboro, trus makan di gudeg Wijilan ya… Kamu yang bawa motor, tante bonceng!”
“Siaaaaapp!!”
Masih seperi dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. Penuh selaksa makna.
Menyusuri jalan kaliurang selatan ringroad, Kinar protes.
“Ini kenapa jadi padet banget sih Re? Dulu belum ada resto pizza ini, dulu ada warung jagung bakar di sudut situ. Aih…”
Renata senyum-senyum saja. Perubahan itu cepet banget, Tante! Batinnya. Tapi memasuki kawasan Kotabaru, sebelah kali Code, Kinar tersenyum sendiri.
“Nah, yang ini masih sama Re.. Dulu Tante sering makan di angkringan sepanjang kali Code itu. Terus di dekat gereja Kotabaru itu, ada penjual duren, Tante sering beli di situ sama mas Barra. Atau juga di pojokan situ, ada penjual garang asem Solo dan nasi goreng sapi, nah kalo itu Tante seringnya sama mas Gilang, sahabat Tante jaman kuliah.”
Renata hanya terkekeh melihat tantenya bernostalgia. Motor pun terus melaju mendekati Jl. Malioboro, pusat kota Yogkarta.
“Tante deg-degan ni Re..”
“Kenapa Tan?”
“Banyak kenangannya di sini.”
“Hahaha…” mereka berdua tertawa.
Kinar meminta Renata memarkir motornya di sisi utara, supaya mereka bisa menyusuri Malioboro ini dari utara hingga titik 0 di ujung selatan Malioboro.
Ramai pedagang lesehan di kiri jalan, masih seperti dulu. Dan di sisi kanan, berjajar penjual pernak pernik asesoris buatan pengrajin rumahan, biasanya pengrajin ini berasal dari kabupaten Bantul. Juga baju-baju batik yang dijual sepanjang emperan toko. Murah meriah. Kaos-kaos dengan karikatur khas Jogja atau kalimat-kalimat menggelitik pun banyak di sana. Sore ini Malioboro ramai sekali. Kinar mengajak Renata ‘keluar’ dari keramaian itu, menuju jalan jalur lambat. Beberapa andong parkir di sana. Tukang becak yang lewat menawarkan jasanya.
“Becaknya mbak, ke bakpia Pathuk atau Dagadu sepuluh ribu saja.”
“Mboten Pak, orang Jogja juga ini Pak.” sahut Kinar dengan senyum dan anggukan. Renata terkekeh.
“Sudah mirip orang Jepang sih Tante, dikira Rena nganterin orang Jepang nih..”
Mereka berdua akhirnya sampai di Mirota Batik, letaknya berhadapan dengan pasar Beringharjo. Kinar mengajak Renata masuk. Pengen beli baju batik untuk kerja, katanya. Rena nurut saja. Tugasnya kan cuma mengantarkan Kinar menikmati Jogja.
“Tante sama mas Barra kalau beli batik di sini, Re..”
“Iya Tante.. Duh, dari tadi mas Barra terus ni yang diceritain. Bener-bener nostalgia kebersamaan dengan mas Barra yaa?” ledek Renata. Kinar meninju lembut bahu Renata.
…terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama suasana Jogja…
“Tante…tante…” gugup Rena menepuk-nepuk Kinar yang masih memilih-milih batik, “mas Barra, Tante…”
Kinar tersentak. Barra ada di sini? Bukannya masih dinas di luar kota?
Kinar memalingkan wajahnya dari gantungan batik yang sedang dipilihnya. Bersamaan dengan itu Barra pun menoleh. Mereka bertemu pandang.
“Mas Barra…”
“Kinar…”
Gadis berkerudung ungu di samping Barra kebingungan.
“Siapa dia mas?” berbarengan kedua perempuan itu bertanya.
“Kinar, ini…” Barra bingung hendak mengenalkan gadis di sampingnya. Tetapi rupanya gadis itu lebih sigap, dia mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri.
“Kayla, tunangan mas Barra.”
Bumi seolah berhenti berputar. Segala di sekitar Kinar memudar. Sebelum Kinar hilang kesadaran, Renata menepuk-nepuk bahunya. “Tante..tante…”
Kinar tersadar, dia hanya tersenyum pada mereka berdua. Sebelum mereka menemukan air mata di pelupuk matanya, Kinar menyeret Rena keluar.
“Ayo ke Parangtritis!”
“Tapi ini sudah sore Tante..”
“Sudah! Ayo ke Paris!” Kinar tergugu. Ramai pikiran berkecamuk di kepalanya. Dalam perjalanan menuju parkir motor, Rena tak mampu bicara apa-apa. Di seberang jalan sekelompok musisi jalanan menyanyikan lagu Didi Kempot. Cidro.
..musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu…
—————————
Word count: 772
Kelebihan 72 kata, Saudara! Sudah dihapus beberapa bagian, masih saja kelebihan. Jogja, terlalu banyak yang diceritakan darinya. Padahal harusnya settingnya Malioboro, kenapa meluas jadi Jogja? Xixixixi…..
OK deh, this is the 8th day of #15HariNgeblogFF2.
pertamax gan … sekuelnya semakin menarik … 😀
gantungan kunci po?
apa hubunganya dgn gantungan kunci? *sibuk mencari benang merah kuning hijau 😀
Lha manggilnya ‘gan’, emange aku gantungan kunci…
*wis ketemu benang merah kuning hijaunya?? 😀
noted it juragan … benangnya ga ketemu, terpaksa beli yg baru … xixixi …
#cari lagunya didi kempot dulu – cidro
sabar ya Kin.. sutradara udah tau kok, ada yang lebih ganteng akan mendampingimu. 😛
hahaha….mudeng pa Bun bahasa Jawa-nya Didi Kempot? Hihihi….
Wis sak mestine ati iki nelongso
Wong sing tak tresnani mblenjani janji
Opo ora eling naliko semana
Kebak kembang wangi jroning dada
#sedih, tapi asik lagunya.. 😀
Jiahahahaha…mantabh!!
Jeng Tt, kita gak bisa bikin nego khusus cara Yogya nih, bundo Rahminya menguasai bahasa kang Didi K je ….
Iya ni Bu, ternyata beliau paham juga…
Sudah diajak jalan2 teh Orin ke Klewer kemarin kali ya Bu.. Hihi… 😀
xixi.. lha gurunya banyak.. ada bu prih, Tt, dan banyaakk lg yg lain..!
hiks..
keren 🙂
FFmu juga keren mb… ^^
dora lan cidra Jeng, sapa nyana nggih
lha nggih Bu, sinten sik saget nyana…
hehe,,,mari berbahasa Jawa Bu. Suka saya… 😀
baguuuusss…setiap penggalan lagunya pas bgt sm critanya… Trs trs aku bener2 bayangin adegannya…setiap jalan n tempatnya hihi
Bayangin pelakunya gk Bun? Hihihi….
Yang orang Jogja tau betul sudut2nya ya Bun… 🙂
Ah ketika cinta tak berhasil lari ke garis finish, yang tersisa hanya luka..Boleh gak Barra itu ditonjok Tik?
Hahaha…jangan dulu Uniiiii….. 😀
Tt chaaan, aku jd kangen dengerin lagu KLa yg inih *buru2 nyalain MP3*
Karakter Barra keren bgt T, next episod dikasih bocoran dunk knp dia ga mau nunggu Kinar hihihihi
OK Teh, di episode 5 (day9) yaa…
Di Tawangmangu akhirnya Barra jujur… Xixixixi…. 😀
Hai mba Titiiiiiik…
lama gak mampir niiiiih…
kangeeeeen…
*tebar tebar aroma korea dulu disinih*…hihihi…
bau Ricky Kim… #endus2
Whoaaaaa…
kenapa cewek semi antagonis nyah dinamain Kaylaaaa….*gak terimaaaa*..hihihi…
Revisi mbaaaa…revisiiiii…hihihi…
*rempong banget yak*
Hahahaha….emang keliatan semi antagonis ya? Umm…yang besok dibuat protagonis deh… 😉
heheheehehe… in ikalau baca cerita yang ini jadi kangen jogya banget nih…
Asyiiik….berhasil bikin mas AR kangen Jogja… ^_^