Surat dari Genta

Untuk Amelia,

Suratmu kuterima di suatu pagi yang cerah, awal musim semi. Pagi itu suratmu kudapati diantara surat-surat lainnya di dalam pigeon hole, begitu kami menyebut kotak pos disini. Aku begitu gembira sekaligus terkejut mendapati suratmu. Tak kusangka engkau benar-benar akan mengirim surat setelah pembicaraan kita waktu itu. Dengan segera kupisahkan suratmu dari surat-surat yang lain. Aku bergegas masuk flat, lalu meletakkan surat-surat lain di meja. Aku duduk di salah satu kursi, dengan segera aku membuka dan membaca surat darimu. Ada yang menelusup di hati ini.

“Surat dari siapa?” tiba-tiba si kaca mata biru (begitu kamu memanggilnya) melongok dari dapur.
“Amelia.” jawabku singkat.
Dia diam saja, lalu masuk ke dapur lagi. Aku memang pernah bercerita tentang kamu kepadanya, beberapa kali rasanya. Selesai membaca, aku lalu masuk ke kamar. Si kecil masih tertidur. Aku melipat suratmu lalu memasukkannya ke dalam tas kerjaku.

Malam ini, beberapa hari setelah aku menerima suratmu, aku duduk sendirian di kantor. Pekerjaan yang memburu beberapa hari ini baru saja selesai. Aku buka lagi suratmu yang kusimpan di dalam tas kerjaku. Aku ambil dengan hati-hati lalu kubaca lagi, baris demi baris. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang muncul. Aku seperti bernostalgia, ada keceriaan sekaligus kegamangan di masa lalu tetapi aku juga seperti merasakan setetes embun yang menyejukkan.

Aku gembira kita bisa bertemu lagi, meskipun cuma lewat layar 14 inchi. Aku senang bisa berkomunikasi lagi denganmu, meski seringkali hanya sekedar ‘say hello’.

Beberapa hari sebelum pembicaraan kita tempo hari, kenangan-kenangan akan kebersamaan kita yang singkat itu kembali datang. Kedekatan yang tidak dibuat-buat, kedekatan yang mengalir begitu saja itu begitu membekas di hati. Aku masih ingat bagaimana hatiku selalu berdebar setiap kali ingin menemuimu. Mungkin kau tak pernah tahu bahwa ketika aku ingin bertemu denganmu, aku seringkali melewati kostmu berkali-kali hanya untuk menata hatiku. Pernah juga suatu kali kita hanya makan berdua saja. Aku sangat girang saat itu. Akupun masih ingat ketika engkau menguatkanku ketika sahabat terbaikku meninggalkanku. Tapi semua yang aku rasakan itu hanya kupendam saja, tak pernah aku berani mengungkapkannya. Ada banyak orang di sekitarmu, dan aku tak pernah berani berharap engkau akan memberiku perhatian lebih. Bisa mengenalmu, aku sudah senang.

Kegalauanku selama beberapa hari itu ternyata bisa kau rasakan juga. Ada perasaan aneh yang berkecamuk di hatiku. Ada keinginan untuk selalu menyapamu. Pernah suatu malam aku tidak bisa tidur karena perasaan aneh itu. Saat itu aku takut sekali bahwa rasa di masa lalu itu datang lagi, karena itu tidak diizinkan.

Ada tanya yang mengendap di hatiku, tanya yang kadang-kadang mencuat, tapi tak pernah bisa kuhilangkan. Ada suatu masa dimana tanya itu muncul begitu kuat, membuatku merasa tak berdaya, tak berarti, tapi aku berusaha menerima garisku. Aku seperti berdiri di dua sisi. Tak mampu aku menahannya. Kadang-kadang aku ingin menolak tanya itu, aku ingin memberontak, tetapi yang terjadi justru tanya itu semakin kuat dan ingin rasanya mengakhiri saja garis ini. Tetapi, itupun tak dizjinkan.

Amelia, engkau benar, kita tak pernah bisa mengintip rahasia Tuhan. Sekali lagi engkau benar, cara terbaik untuk melawannya adalah dengan bersyukur selalu. Aku akan terus berusaha bersyukur atas semua anugrahNya. Dia yang sudah memimpinku sampai sekarang, Dia juga yang akan menjagaku sampai akhir.

Hari itu, aku membaca tulisan-tulisanmu lalu aku pun memberanikan diri untuk mengirim pesan itu. Entah mengapa, hari itu aku merasa, kamu pun sedang mengingat masa itu. Aku tak tahu, mengapa hari itu aku begitu ingin mengakui semua rasa yang pernah ada meski aku tahu tak mungkin lagi waktu kembali. Saat itu sebenarnya aku juga takut, takut kamu akan bersikap lain dan tidak mau berkomunikasi lagi denganku. Tetapi ketakutanku tak terbukti. Engkau tetap ceria seperti biasanya. Aahh, engkau memang selalu ceria. Kau begitu tegar.

Setelah obrolan kita itu, aku merasakan ada kelegaan, seperti yang kau tulis juga di suratmu. Tentang pertanyaanku yang tidak kau jawab seputar tulisan itu, biarlah itu tetap menjadi rahasia hatimu.

Aku berterima kasih engkau telah meyakinkanku untuk menapaki jalan yang telah kupilih. Mungkin tanya itu takkan pernah hilang, sehingga aku harus bisa berbaik-baik padanya. Semoga, ketika tanya itu datang lagi, aku akan bisa menjawabnya. Jika tanya itu datang lagi, akan kuingat nasehatmu.

Amelia, aku bersyukur engkau masih menganggapku seorang sahabat. Aku pun ingin persahabatan ini bisa berlangsung seterusnya. Jika aku pulang nanti, aku akan mengenalkan si kaca mata biru dan si kecil kepadamu. Si kecil pasti senang sekali diajari origami. Pada saat itu, aku berdoa semoga engkau telah menemukan seseorang yang bisa melengkapkan hidupmu tanpa perlu kaugantungkan tanya di langit-langit hatimu.

Salam hangat dariku:
Genta

62 thoughts on “Surat dari Genta

  1. apikecil says:

    “kita tak pernah bisa mengintip rahasia Tuhan. Sekali lagi engkau benar, cara terbaik untuk melawannya adalah dengan bersyukur selalu”

    so sweet banget mbak kalimat yang ini..
    syukur memang akan membuat kita selalu ikhlas menerima apa yang telah digariskan oleh-Nya…

  2. azzetjogja says:

    Suratnya asyik bener…. Hmm… jadi ingat Amelia. Si gadis kecil usia 4 tahun yang beratnya sudah 35 kg. Dia tiap pagi mengetuk pintu rumahku untuk bercerita tentang apa saja.

  3. ysalma says:

    Kalo Amelia ada yang kukenal,,
    kira2 orangnya sama ga yaa 😀
    bilangin si kaca biru, tenang aja Genta udah jadi milikmua,,
    ternyata rasa yang dipendam itu, hasilnya selalu romantis ya Tt 😉

    • yustha tt says:

      persahabatan mrk pun sama indahnya dgn masa itu…
      hanya sj skrg sdh tidak ada tanya lagi…hehehe…

      oke mb jum..nti kusampein salamnya utk genta & amelia.. 🙂

Any comments?