Yang kupunya hanyalah rasa, tersimpan rapat di relung hati, mungkin telah mengristal di endapan sunyi. Meski yang kauberi hanyalah bayang, nyanyian rindu yang adalah pelukanmu, canda tawa yang adalah kecupanmu, dan doa-doa yang adalah genggaman tangan yang menguatkanku. Kita percaya pada takdir. Kita percaya kita tak bisa mengontrol jalan takdir. Yang kita bisa hanyalah berserah, berpasrah padanya, dan mengusahakan semampu kita.
Matahari menitipkan jingga pada langit, senja menjelang. Sunyi kembali menyergap ruang hati. Rindu telah tak bisa kuhitung lagi. Dan senja adalah pertemuan kita. Pertemuan di bawah langit yang sama.
“Kau tau siapa yang mewarnai jingga di ujung senja itu?” katamu suatu ketika.
“Siapa?”
“Kita. Ketika kita membiarkan senja apa adanya, kita bahkan telah mewarnainya.” dan kita kembali sunyi, menikmati senja bersama. Senja kita masing-masing, di bawah langit yang sama.
“Selamat berbuka puasa, Sayang.” katamu di masa yang lain.
“Iya, Sayang, sebentar lagi. Di situ sudah maghrib? Selamat berbuka ya. Semoga puasa hari ini barokah.” kataku dalam perih.
Palembang – Jogja itu jauh, Sayang. Ketika kamu telah membasahi kerongkonganmu setelah seharian kering, aku masih menunggu beberapa saat lagi. Palembang – Jogja itu jauh, Sayang. Jauh. Semakin jauh. Dan air mataku terjatuh.
“Sudah gelap Ran, ayo pulang.”
“Iya…”
Kutaburkan bunga yang kugenggam ini di sungai Musi. Berharap harumnya sampai padamu. Mungkin akan menjadi bunga terakhir yang kukirim padamu bersama sebait sajak sepi. Bacalah bersama malaikat-malaikat di sorga yang kini menemanimu. Telah tiba saatnya aku mengubur kenangan tentangmu, kamu yang tidak akan pernah lagi kembali untuk bersama menikmati senja, di bawah langit yang sama. Lalu akan kusambut pagi, bersama dia yang mengajakku pulang. Pulang ke rumah jiwa, tempat aku kembali dari mana saja. Selamat tinggal senja.
Senja melenggang tanpa sepatah kata
Tak sisakan jingga berhias kilau sedikit saja
Lalu tanggallah lelah itu di sudut dengan setitik perih
Biar merata dengan fatamorgana, tepisku
Senja melenggang semakin jauh
Merentang jarak tak kasat mata dan sia-sia
Lalu tanggallah segenggam asa yang tertanam
Biar layu sebelum menuai sekotak narasi
Senja itu ada di sudut mataku
Senja itu ada di tiap inci kulitku
Senja adalah nafas yang pernah kamu tiup
Segenggam butiran kopi
Sejumput keinginan untuk berkata
Senja adalah rasa
Senja adalah kamu
Senja adalah aku
Senja adalah kita
Selamat tinggal senja..
————————————————————–
Word count: 354.
Puisi by Catastrova Prima.
3rd day of #15HariNgeblogFF2
puisinya keren kak
Puisinya karya mb penulis buku Suburban Love yang kemarin kujadiin hadiah giveaway pertamaku, Dik. 🙂
sayangnya saya nggak menang-__- jadi nggak tahu deh 😀 tapi ceritanya manis kak, aku sukaa♥
Bisa dibeli di sini, Dik.
#teteup promosi 😀
Makasih Syg, masih belajar merangkai kata ni Dik…
syukurlah Ran, masih ada dia yang mengajakmu pulang..
cobalah lihat eMak dan Tt, tak ada siapa² yang mengajak kami pulang
#curcol
Huahahahaha…..
Soundtrack yang cocok apa ni Mak? Biar tambah mengharu biru, menggalau balau 😀
tanpa soundtrack pun sudah menggalau t.. jadi cukuplah 😛
😉
Pulang yuk Mak! Jam Gadang dah berdentang 4 kali. 😀
hey eMak, Tt chan, hayu pulaaaang
nah kali ini FFnya bukanlanjutan bundo rahmi ya mbak
Bukan mb Lid.. Yg Bundo Rahmi tu FFnya Teh Orin. Masih lanjut kalo yg itu…
Hihihi…
suka sama puisinya….. jadi mau punya bukunya… nih…
Menikmati parade FF di rumah Jeng Tt dan Neng Orin, menunggu day4. Selamat berkarya
Terimakasih Ibu.
Meski tulisan2 di sini tidak begitu jelas, tapi tetep berusaha terima tantangan. Hehe..