Wang sinawang berasal dari bahasa Jawa sawang sinawang. Sawang berarti pandang/lihat. Dan setelah mengalami pengulangan, sawang sinawang berarti pandang memandang atau lebih mudahnya saling pandang. Begitulah makna etimologis ungkapan Jawa wang sinawang. Secara filosofis, wang sinawang bermakna saling menilai orang lain dan biasanya memandang orang lain lebih baik/lebih beruntung dari diri sendiri. Contoh mudahnya si Anu menganggap bahwa si Ana itu orangnya selalu bahagia, tidak pernah punya masalah, tidak pernah sedih. Padahal si Ana pun sebenarnya memiliki masalah, hanya saja tidak dia perlihatkan di muka publik. Yang dia tunjukkan adalah wajah tersenyum dan raut bahagia. Sebaliknya si Ana pun memandang bahwa si Anu hidupnya enak, tidak pernah kekurangan uang dan tidak punya hutang. Padahal sebenarnya hutang juga di koperasi kantor maupun di bank. Tetapi karna hidupnya yang apa adanya tidak berlebihan, orang jadi melihatnya selalu berkecukupan.
Pernah suatu hari seorang kawan mengirim pesan di facebook, bunyinya begini: “Titik, aku selalu mengikuti update statusmu juga foto-fotomu dan aku merasa ikut berbahagia dengan kebahagiaanmu. Beruntungnya kamu ya Tik. Kamu selalu ceria dan bahagia”. Puji Tuhan, berarti begitulah dia memandangku. Dan begitu juga aku memandangnya, bahagianya kawanku ini, sudah menikah, punya anak yang lucu, bekerja dengan mapan, lengkap sudah. Kita memang seringkali hanya wang sinawang seperti itu. Sampai saat dia menceritakan beberap masalahnya, aku baru sadar ternyata apa yang terlihat di depan mata belum tentu demikianlah adanya. Kami hanya wang sinawang saja.
Dengan sifat dasar manusia yang suka nyawang orang lain itu, menjadi tugas kita sendiri untuk memilih bagaimana kita akan dilihat/dipandang orang lain. Memang lebih nyaman menjadi apa adanya, tanpa ditutup-tutupi. Tetapi apakah nyaman juga kalau sampai orang lain harus mengetahui masalah-masalah kita atau hutang-hutang kita? Hehe… Dengan adanya jejaring sosial seperti facebook, twitter, juga blog, memungkinkan kita untuk mengungkapkan isi hati kita melalui status ataupun tulisan di sana. Dan dengan mudah orang akan menilai kita dari apa yang kita tulis itu, bahkan sangat mudah juga mengetahui karakter seseorang dari tulisannya. Tak heran kita di dunia blog ini bisa dengan mudah mengenal rekan blog kita meski kita belum pernah bertemu, hanya dengan mengenali gaya tulisannya. Kita pun seringkali menilai si A itu orangnya ceria, blak-blakan, si B orangnya sepertinya serius, si C, dan seterusnya. Dan mereka pun mungkin akan menilai kita juga. Dan pernilaian yang di permukaan itulah yang disebut wang sinawang.
Berbeda lagi dengan penilaian saat melihat foto seseorang seperti berikut ini lalu banyak yang bilang: “Ih…Japanese banget!!!”. Itu bukan wang sinawang namanya, tapi itu yang disebut “ah, itu hanya perasaanmu saja” 😀
Demikian teman-teman.
Salam dari jauh… 😀
#Oalah Nduk! Dadi lihmu nulis dawa-dawa kui mau, akhire mung arep pamer poto to? Narsismu kok ora ilang-ilang to Nduk!! 😮
hahahhhhahahhahah.. narsi jaya.
aku mau donk mbak disinawangin. *iki boso opo toh Ri?*
hai, Kamu…
apa kabar?
aku? kabarku SUPER tanpa telor. huehuehue
Haha… Titik ketularan Om Nh…. 😀
Ini namanya narcis eiylekhan…
Untuk tidak terjebak dalam wang sinawang, menurutku kuncinya adalah mensyukuri apa yang kita miliki, tanpa harus mensyaratkan apapun untuk berbahagia. Karena kebahagiaan itu ada dalam hat yg ikhlas.. 🙂
Aduh Tik.. Aku kapan ya bisa kke Jepang..? #eh?
Setuju Uda… Bahagia itu ada dalam hati yang ikhlas dan bersyukur. Ikhlas dengan yang kita jalani dan bersyukur dengan apapun yang kita terima. Jadinya meskipun punya hutang atau masalah, tetep aja kelihatan bahagia ya Uda… 😀
Nanti kalau Uda ke Jepang lama-lama wajahnya mirip Jepang lho Uda. 😀
Selamat hari Jumat, Uda. Kok belum ada tausiyah Jumat di Surau?
narsis ki wis gawan bayi, dadi yo disyukuri … 😛
bayine sapa bro sik bawa-bawa narsis?
Hedeeehhh…ujung2nya teteuup ya narsis qiqiqiqi.
wang sinawang sptnya tidak bisa dihindari dari kehidupan sehari2 Tt chan, levelnya saja mungkin yg berbeda tiap2 individu. Semoga saja kita termasuk yg level rendah, me-‘nyawang’ tanpa harus mendengki, dan tetap bersyukur dg yg sudah dan belum dimiliki *wew, sotoy stadium akut* 😛
Biar saja kita nyawang orang lain hidupnya enak ya Teh, biar diaminkan sama malaikat yang lewat. Kitanya sendiri tetap bersyukur dengan yg sudah dan belum dimiliki…cucok Teh.. 😀
Oowh.. bundo baru tau artinya..
kirain wang sinawang itu.. kayak duduk diangkot,
pas hadep2an ada yang cakep
trus pandang-pandangan.. wkwkkkk
klo eMak ke jepang apa kirakira bisa mirip jepang juga, T..?
Itu sawang-sawangan Bun.. *ntar ada yang protes: bukan sawang beneran T?*
Bisa Bun, lah wong aku aja bisa 😉
Ini pernah terjadi dengan saya, orang kira saya bisa mengatasi masalah orang lain, hingga teman saya terus-terusan curhat, padahal saya sendiri lagi mumet mikirin masalah pribadi heeee
oia mbak, dengan mata saya yang besar gini, kalau lama-lama di jepang bisa berubah ngak heeee,,,salam yach…kamar mandinya apik, fotonya juga ayu…ngak salah kok kalau narsis dikit heeee,,sehat dan sukses selalu mbak
Hahaha…begitulah Bli…wang sinawang…
Ini komen rapelan ya Bli? Hihi… Makasih Bli… ^_^
sama dengan persepsi ya…. wang sinawang itu…? baru dengar kata itu nih…
senangnya kalo hidup banyak uang ndak ada hutang…heheheh
Wang sinawang ini lagi2 nggak ada padanan bhs Indonesianya ya
sifat begini memang lumrah kali ya Ti…. cuma kalau berlebihan ya ngeselin juga… Ayuk saling mengingatkan supaya mensyukuri apa yang sudah dipunyai dan tak menjadi dengki/iri pada orang lain..
Nggak apa2 narsis… cakep kok Ti….