Satria dan amerta

Senja mulai surut di cakrawala. Jingga itu, mereka bilang candikala, indah memburat di langit barat. Lelaki masih terpekur di tepi pantai, merenungi takdir yang tak menyatukannya dengan yang tercinta. Tidakkah kau takut Buta Kala menelanmu, wahai Lelaki? Bisikan itu menelusup di hatinya. Lelaki bergeming. Dari arah laut seorang perempuan berkain putih mendekatinya. Lelaki merasakan udara tiba-tiba menjadi sangat dingin. Siapakah perempuan ini?

“Apa yang mendukakanmu, hai Lelaki? Ceritakan padaku luka hatimu. Aku bisa menolongmu.”

“Siapa kamu?” Lelaki merapatkan kain yang membalut tubuhnya, dingin semakin terasa. Tiba-tiba bisikan tadi terdengar lagi. Apakah dia Buta Kala yang mewujud menjadi perempuan cantik?

“Hahaha….mengapa kau berpikir demikian? Tenangkanlah hatimu. Aku tidak akan mencelakaimu. Aku akan menolongmu.”

Lelaki terkejut. Bagaimana perempuan ini bisa tahu apa yang dipikirkannya. Jangan-jangan ia tahu pula apa yang menimpanya, apa yang sesungguhnya terjadi padanya, dan apa yang diharapkannya. Lelaki tidak berani melanjutkan pikiran-pikirannya. Ia takut perempuan itu akan membacanya.

“Jadi kau tidak mau menceritakannya? Baiklah, aku pergi.” Perempuan itu bangkit dan melangkah, tetapi dengan spontan Lelaki meraih tangannya dan mencegahnya pergi.

“Tunggu!!” Bulu kuduk Lelaki meremang. Tangan yang dipegangnya begitu halus, ia seperti sedang menyentuh kain beludru.

“Aku hanya ingin bisa bersatu dengan perempuanku. Tetapi takdir tidak menyatukanku dengannya. Bisakah kau membantuku, menyatukan kami di kehidupan kedua?”

“Minumlah ini, amerta, minuman keabadian para dewa. Kau akan bertemu dengannya di kehidupannya yang kedua. Semoga saat itu takdir menyatukan kalian berdua.”

Lelaki menatap botol kecil di genggamannya. Dia tak pernah tau cairan ini sebelumnya. Cairan keabadian? Akan mempertemukannya dengan kekasihnya di kehidupan kedua? Berbagai pertanyaan berpusar di kepalanya.

“Terimaka…” dan Lelaki kembali terkejut. Perempuan itu sudah lenyap entah ke mana.

***

“Arini, bertahanlah…” Satria menggenggam tangan Arini -istrinya- yang tak bereaksi apa-apa. Selang-selang di tubuhnya, bunyi perekam denyut jantung yang semakin perlahan, semua tampak tak menunjukkan harapan.

“Aku sangat mencintaimu, Arini…”

Aku juga sangat mencintaimu Satria. Sejak pertama bertemu, aku merasa telah lama mengenalmu, dan aku langsung jatuh cinta padamu.

“Mengapa takdir begitu kejam kepadaku? Ratusan tahun aku menunggumu tetapi hanya 3 tahun kita ditakdirkan bertemu dan hidup bersama.”

Apa maksudmu Satria? Apa maksudmu dengan “ratusan tahun”? Aku tidak mengerti.

“Akan kuceritakan sebuah rahasia padamu, Arini. Kita, di kehidupan yang lalu, saling mencintai. Tetapi takdir tak menyatukan kita. Kamu adalah istri kakakku. Lalu di suatu senja aku bertemu dengan seseorang, mungkin dia utusan langit, yang memberiku air suci amerta, air keabadian yang menjadikanku tak pernah mati. Lalu kau datang lagi Arini. Kita akhirnya bisa bersama di kehidupan saat ini. Jadi….tolong jangan pergi Arini…..” suaranya parau bercampur tangis.

Satria….

Air mata mengalir di sudut mata Arini. Tubuhnya tetap tidak bergerak. Denyut jantungnya semakin melemah…melemah….gelap…

***

Ini adalah senja ke-empatpuluh yang Satria habiskan di tepi pantai sejak kematian Arini. Dia menanti perempuan berkain putih itu datang lagi. Tetapi hingga gelap datang, tak pernah didapatinya perempuan bertangan halus itu.

“Wahai dewi, berikanlah padaku penawar amerta-mu. Aku ingin bersama kekasihku di surga. Aku ingin keabadian di sana. Berikanlah penawar amerta-mu!!”

Setiap hari diteriakkannya permohonan itu. Tetapi perempuan itu tak pernah datang. Ia sedang menari bersama Arini di surga. Sesungguhnya ia hanya menolong Arini bertemu lagi dan bersatu dengan kekasihnya. Tetapi bukan menolong lelaki itu.

***
**
*

Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.

#FF 519 kata

20 thoughts on “Satria dan amerta

  1. yustha tt says:

    @Thakil: eyaampun….ternyata kamu masih ada. Kupikir udah beneran lenyap ky si perempuan berkain putih :D. Thanks ‘like’-nya 🙂
    @eMak: terimakasih jempolnya ya Mak…
    @Bunda Ly, Cahya, Catastrovaprima: terimakasih ‘like’-nya 🙂

    • omietha BunAff says:

      huaaaa..tt foto headernya bagus..dimana itu???

      **hihi..komen dulu..tar baru baca… oiya btw, tt skrng komen sering ada pk kata2 eyaampun ..hihihi *pengamat

      Hahaha…itu di Kamiyama waterfall, deket sama Naruto meski agak jauh juga sih… Udah lama itu fotonya, waktu awal musim panas..

      **itu ketularan si eMak sama Ngai yg suka bilang eyaampun.. Hadeeeh…kuat banget pengaruh mereka 😀

  2. Orin says:

    Aih…keren sangat Tt chan. Aku pikir harusnya ini jd salah satu pemenang 😉

    Punya Teteh juga keren banget…
    Mari kita menang bersama… (mbujuk Lulabi 😀 )

  3. Budi Arnaya says:

    Kok harus Arini 😦 heee nama itu membawa cerita lain bagi saya mbak

    Aduuuh…. Ada apa dengan Arini Bli??
    Saya cuma asal ambil nama yang cocok untuk disandingkan dengan Satria..
    Hiks…hiks…maafkeun adinda, Bli…

  4. chocoVanilla says:

    Hihihihi…mesakno Satria, abadi terpisahnya 😀

    Mantap, Jeng!

    Iyho mesakno…
    Si perempuan berkain putih ki yho gender banget og.. Sik dibantu mung sik podho2 perempuan… Xixixi…. 😀

  5. Monda says:

    Tt, kok bisa kepikiran ide gini sih
    keren
    Yg tersirat di balik cerita ini , jangan minta yg bukan hakmu, gitu ya

    Iya Bun… Nantangin takdir sih… Gini deh hasilnya.. Hehehe… 😀

  6. prih says:

    Jeng Tt, indahnya rangkaian Satria, toya amerta, batara kala, candikala. Jadi ingat Agnes Yessica yang sebidang, maju terus Jeng Tt, salam

    Wah, saya masih jauh dari Agnes Yessica, Bu. Dan saya juga sudah teken kontrak sama bidang itu. Hehe…
    Tetapi melihat banyak teman dengan bidang yang sama dan ternyata mereka juga suka menulis, saya jadi berpikiran kedua hal itu memiliki korelasi positif. Hehehe…. Salam, Ibu..

  7. Pengumpul Cerpen says:

    Kisah cinta yang tak pernah membosankan walau berbagai versi yo wuk.

    Amerta itu air dewa tho. Soalnya saya pernah menjadi dut membawa Tirta Pravitasari untuk “siraman” pengantin pria. ha ha ha.
    Pinter menulis cerpen tho nduk, belajar dimana ? Dengan siapa ?
    Kalau sudah banyak bisa dibukukan.
    Salam hangat dari Suroboyo

    Wah, ndak pinter kok Pakdhe, cuma suka nulis-nulis saja.
    Belajar di mana? Waduh, belajar di mana ya? Mungkin dari baca-baca novel dan karya2 para penulis juga teman-teman yang suka nulis itu Pakdhe.
    Terimakasih Pakdhe.
    Salam.

  8. Pemimpi says:

    Aduh Mak, cantik sekali fiksinya Tt. Suka sekali pada ide kehidupan ke-2. Kalau dulu perempuan itu membantu Arini agar bertemu kekasihnya, mengapa sekarang tidak? Apakah Arini gak mau kembali ke bumi?

  9. ~Amela~ says:

    abadi kalau sendirian mah ga ada artinya.. apalagi ditinggal kekasih tercinta..
    makasih ya mbak udah menyempatkan ikut 😀

    Hai Amela..
    Udah balik dari mudik ya?
    Iya tuh, abadi merananya 😀
    Terimakasih juga udah ngadain giveaway yang OK punya ya Mel.. 🙂

Any comments?