Bulan tak lagi bulat penuh, sudah sedikit terkikis waktu. Tapi bintang masih bertabur berserak di pelataran langit yang tak berbatas. Ratri menghitung bintang-bintang itu. Terlalu banyak hingga tak pernah bisa ia selesaikan. Dan malam ini, malam minggu ini, Ratri duduk sendirian di teras rumahnya, memandang langit yang selalu dikaguminya. Tak ada aktivitas yang lebih menyenangkan daripada memandang langit dan mengagumi keindahannya. Tidak malam, tidak siang, tidak senja, tidak fajar, langit selalu memesona bagi Ratri. Dan bintang adalah penghuni langit yang paling Ratri sukai. Satu buntang ia nobatkan sebagai bintangnya. Bukan bintang yang paling terang, tapi Ratri begitu menyukainya, karna walau sinarnya tak cemerlang, bintang itu setia berkedip seolah genit menyapa Ratri. Sementara Ratri menikmati lukisan alam, dari jauh terdengar suara motor tua yang sangat dikenalnya. Motor lelaki yang tak pernah bosan mengunjungi Ratri, begitu pula denga Ratri. Semakin dekat suara itu dan Ratri memasang senyum sebelum lelaki itu tiba di depan pagar rumahnya.
“Dah selesai belum ngitung bintangnya?” sapa Gilang sambil memarkir motornya di depan pagar rumah Ratri.
“Belum ni bro, makin banyak aja perasaan.” Jawab Ratri. Gilang membuka pagar rumah Ratri yang hanya setinggi perutnya dan terbuat dari bambu. Menuju teras melewati setapak kecil yang dipagari tanaman pacar air di kanan kiri. Nuansa pedesaan yang kental di rumah Ratri. Siapa pun akan nyaman berlama-lama di sana.
“Abang martabak tikungan nitip ini buat kamu, Rat.” Gilang menyodorkan tas plastik berisi martabak telur kesukaan Ratri. Dua minggu terakhir Ratri puasa makan martabak karna radang tenggorokan. Gilang tau betul Ratri bakal kangen dengan makanan kesukaannya ini.
“Wuah….makasih ya Lang. Kamu memang buaik. Ntar kubikinan minum dulu ya.”
Beberapa menit kemudian Ratri keluar dengan dua cangkir minuman dan sepiring martabak yang dibeli Gilang tadi.
“Kopi hitam buat kamu, kopi krimmer buat aku. Diminum Lang.” Sudah tak perlu bertanya lagi, Ratri sudah tau minuman kesukaan Gilang. Kopi hitam tanpa ampas.
Ratri dan Gilang bersahabat sejak empat tahun yang lalu. Pertemuan tak sengaja di acara ulang tahun teman Ratri yang ternyata juga teman Gilang. Mereka pun akhirnya saling mengenal. Bersama dengan temannya itu akhirnya mereka bersahabat. Tapi sejak sang teman punya kekasih, mereka lebih sering berdua dan tidak lagi bertiga. Gilang dan Ratri saling terbuka, Ratri adalah tempat Gilang berkeluh kesah, pun Gilang adalah tempat Ratri menuangkan perasaannya. Bahu Gilang sudah kuyup dengan air mata Ratri. Tangan Ratri sudah halus mengusap punggung Gilang member kekuatan. Yah, begitulah dua sahabat itu.
“Masih nunggu satu bintang itu jatuh Rat?”
“Iya Lang. Kalau dia jatuh aku akan minta satu permintaan yang aku yakini akan dikabulkan.”
“Keyakinanmu itu yang mengabulkan permintaanmu, bukan bintang jatuh itu.”
“Kurasa juga begitu.”
Mereka berbincang sambil memandang langit. Tak saling pandang satu sama lain. Di tangan Gilang cangkir berisi kopi hitam, di tangan Ratri cangkir berisi kopi krimmer.
“Masih belum bisa melupakan dia, Rat?”
“Sedikit-sedikit sudah bisa.”
“Lalu kenapa masih menunggu bintang itu jatuh?”
Ratri tak langsung menjawab pertanyaan Gilang. Justru gemuruh yang riuh di hatinya.
“Aku justru ingin membuka hati buat orang lain Lang. Aku menunggu bintang itu jatuh. Bintang itu bukan lagi dia, tapi seseorang lain yang menyayangiku apa adanya. Bukan menggantikan dia, tapi menyempurnakan hidupku dan membuatku mampu melupakan masa lalu. Jika telah datang seseorang itu, maka artinya bintang itu telah jatuh.”
Gilang menoleh, mendapati wajah Ratri menatap satu bintang yang disukainya. Wajah perempuan yang telah lama disayanginya. Andai kamu tau Rat, aku ingin sekali menjadi bintang itu. Aku ingin sekali jatuh di jantungmu, ingin kamu tau betapa aku menyayangimu.
“Tidakkah kamu menyadari bintang itu telah jatuh?” Gilang berbisik lirih sampai-sampai Ratri tak mendengarnya.
“Kamu bilang apa Lang?” Ratri mengkonfirmasi.
“Kamu nggak dengar Rat? Barusan aku bilang: wajahmu jelek banget kalau lagi serius. Hahahaha..”
Dan gelak pun membuncah di antara mereka. Obrolan berlanjut dengan materi ringan yang penuh canda sampai malam memaksa mereka berpisah.
“Aku pulang Rat. Kalau sudah kamu temukan satu bintang itu, kalau bintang itu sudah jatuh, kabari aku. Aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Oke?”
Ratri tersenyum mengangguk. Gilang keluar dari halaman rumah Ratri, menyalakan motor tuanya dan melambaikan tangan pada Ratri sebelum menghilang di tikungan.
Ratri memandang langit. Pada satu bintang di langit kelam itu. Dan dia segera mengambil handphonenya. Diketiknya sebuah pesan untuk Gilang.
‘Lang, bintangnya udah jatuh barusan…’
Di jalan Gilang menghentikan motornya membaca sms dari Ratri. Mengernyitkan dahi. Lalu membalas.
‘Oh ya? Cepat sekali? Lalu kamu minta permohonan apa?’
‘Aku ingin bersama dia selamanya.
‘Semoga terkabul seperti keyakinanmu. Jadi siapa bintang itu?’
Ratri sedikit gemetar. Lalu diketiknya pesan singkat untuk Gilang.
Send to Gilang:
‘…bintang itu…kamu…’
Gilang memutar motornya kembali ke rumah Ratri…
.
.
[1 Mei 2010, 22.00 WIB]
Cinta kadang perlu juga diucapkan.
**dibuat pas malam minggu, duduk sendirian di teras depan kamar kost, sambil mamam martabak telur dan liatin bintang, mangku ciput sambil seru2an pesbukan ma temen2, ee tau2 jadilah tulisan. Horeee….bisa nulis cerpen lagi. Xixixixi….. 😀 **
Edun…bagus banget, ingat aku masih muda….heheh sekarang aja masih muda banget
Aku tunggu cerpen2 yg lain
—
#tt
hihi…makasih pak Andi dah ke sini lagi..
mu bikin yang happy2 ni Pak.. 😛
btw, sorry sempat masuk spam komennya, tapi dah kutarik lagi kok..hehe..
duhhh sampe merinding bacanya dek
aku suka banget
so sweet
—
#tt
duhhh…..makasih banget kak julie…
hihi…belajar lagi ni bikin cerpen2 lagi…
🙂 bagus mbak 😀 deuch,,, kapan QK bisa bikin cerpen lagi 😆
suka cara mbak yustha memberikan penggambaran suasananya,,, kelihatan detail dan jelas gitu mbak.. 😀
HIDUP!!! ^_^
—
#tt
timakacih Kika…
oiya, tt punya cerpen yang terinspirasi dari puisi Kika lho..
tapi belum kuposting di sini, baru kupost di fb.
Ntar kupost ya, boleh kan?
sudah QK baca mbak 😀 bagus euy menggambarkannya 😉
makasih ya…
HIDUP!!! ^_^
Wah…mantap jaya buk…
—
#tt
wah…makasih pak…
link-nya ke kantor ya pak?
Sip lah…;)
ni jadi jg cerpen!!!!
semangat titik pasti bisa buat cerpen yang ceria!!!
—
#tt
makasih mb…
iya…moga aja bisa terus nulis..biar ky mb gitu..
hehe….