Karna Doamu Aku Kembali

Cerita sebelumnya ditulis oleh Hanila Husein Pendar Bintang dan Jumialely Dream: Ibunda Nadine seorang single fighter yang membesarkan Nadine dengan penuh perjuangan. Menjajakan jajanan dengan berjalan kaki dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah Nadine. Sampai akhirnya Nadine menikah dengan seorang pengusaha kaya yang membuatnya lupa akan masa lalunya. Namun kehendak Tuhan tidak bisa ditolak, suami Nadine meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Bersamaan dengan suaminya seorang perempuan muda. Desas desus pun berhembus di lingkungan sekitar. Nadine yang sedang berada di rumah ibunya memilih pulang ke rumah mewahnya sebulan setelah meninggalnya suaminya. Hal itu membuat desas desus para tetangga semakin menjadi. Ibunda Nadine hanya bisa istigfar dan mendoakan Nadine. Sampai suatu hari ibunda Nadine memutuskan untuk mengunjungi Nadine di rumahnya. Dengan uang hasil penjualan kue yang hanya pas-pasan, ibunda Nadine berangkat. Namun sesampainya di pintu gerbang rumah mewah itu, jantung ibunda Nadine seolah berhenti berdetak. Ia mendengar anaknya berteriak-teriak pada tiga orang polisi dan seorang pria berkemeja putih.

Ini Bohong, tidak mungkin, kalian jangan coba-coba menipu saya!”

Ini pasti surat palsu. Pergi kalian dari rumah saya!” Teriak Nadine sambil menggerak-gerakkan telunjuknya ke muka polisi dan pria itu, sembari memegang perutnya yang terlihat membuncit, mukanya memerah menahan amarah yang sangat besar.

Tiba-tiba tubuh Nadine melunglai. Pria berkemeja putih itu mencoba menangkap Nadine. Ibunda Nadine berlari menembus tiga polisi tadi dan memeluk anaknya.

“Istigfar Nak, istigfar.”

Nadine terkejut dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba. Namun Nadine sangat butuh pelukan saat ini, sangat butuh dukungan kekuatan. Ibundanya datang di saat yang tepat.

“Ini tidak mungkin Bu. Tidak mungkin.” Sambil menangis di pelukan ibunya, Nadine meremas lemas surat sita rumah dan harta benda miliknya untuk membayar hutang perusahaan suaminya. Tangisnya melirih, lalu berubah menjadi rintih kesakitan. Perutnya kontraksi.

 

Usia kehamilan Nadine baru menginjak 35 minggu. Bayi dalam kandungannya memang sudah bisa dilahirkan meski resikonya cukup banyak. Berat badan bayinya hanya 2000gr. Nadine hanya ditemani ibunya saat melahirkan. Susah payah dan kesakitan saat melahirkan diimbangi doa dan semangat yang terus mengalir dari mulut ibunda. Nadine merasakan betapa perjuangan seorang ibu saat melahirkan sangatlah luar biasa. Air matanya menetes deras. Antara bahagia menyaksikan buah hatinya terlahir ke dunia dengan selamat dan penyesalannya yang begitu dalam atas sikapnya kepada ibunya. Ia tau kini, mengapa ibundanya begitu sabar dan menyayanginya. Bahkan ketika mulutnya berkata kasar, ibundanya tetap sabar dan membalas dengan halus disertai doa. Nadine terhenyak. Nadine tersadar akan cinta seorang ibu kepada anaknya. Kini, Nadine sungguh merasakan betapa ia menyayangi bayi yang baru dilahirkannya. Ada darahnya mengalir di tubuh kecil yang terbaring lemah dalam incubator di ruang bayi sana. Ada kasih sayang dan perjuangan yang besar dalam setiap hela nafas bayi mungil itu.

Nadine mengusap air matanya. Menoleh pada ibunya yang baru selesai sholat magrib. Ibunya melipat mukena dan sajadah yang baru ia gunakan. Air mata Nadine kembali mengalir. Teringat perlakuannya saat melempar mukena ibunya ke tempat baju kotor. Nadine terisak.

“Ada apa Nak? Kenapa kamu menangis? Anakmu pasti baik-baik saja. Dia sudah dirawat dokter dan perawat di ruang bayi sana. Meskipun masuk incubator, tapi kondisi bayimu sehat.” Ibunda Nadine mencoba menenangkan Nadine meskipun bukan itu yang membuat Nadine menangis.

“Bu, maafkan Nadine.” Nadine tergugu, tak sanggup berkata-kata lagi.

“Kenapa kamu bicara begitu Nak? Apa yang harus Ibu maafkan?”

“Nadine sudah berlaku buruk pada Ibu. Nadine sudah bersikap jahat pada Ibu. Nadine sombong. Nadine silau dengan harta benda dan lupa pada masa lalu Nadine. Padahal Ibu yang telah berjuang dengan jerih payah untuk Nadine hingga Nadine bisa seperti ini. Nadine jahat pada Ibu…..” Nadine kembali tergugu.

“Nak, kamu tidak jahat. Tidak.. Kamu hanya sedang lupa. Tapi Ibu tak pernah lupa bahwa kamu adalah anak Ibu. Dalam tubuhmu mengalir darah dan kasih sayang Ibu dan Ayahmu. Kamu tak perlu minta maaf Sayang, ibu telah memaafkanmu sebelum kamu memintanya.”

Ibunda Nadine memeluk tubuh anaknya yang masih lemah. Ada kelegaan melihat putrinya telah kembali. Air matanya pun mengalir bahagia. Ia sangat bersyukur, sangat bersyukur.

“Bu, Nadine sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi. Bolehkan Nadine tinggal bersama Ibu?”

“Tanpa perlu kamu minta, Ibu akan membawamu dan cucu Ibu pulang ke rumah Nak.”

 

Malamnya ibunda Nadine sholat tahajud. Nadine terbangun dan melihat ibunya sedang berdoa. Dalam doanya terdengar namanya disebut. Ibunda Nadine tak pernah lupa membawa Nadine dalam doanya. Nadine haru dan sangat bersyukur memiliki ibu yang teramat baik. Setengah berbisik Nadine berucap: “Ibu, terimakasih untuk kasih sayangmu. Terimakasih telah menyadarkanku dengan kasihmu. Terimakasih Bu. Nadine menyayangi Ibu meskipun tak sebanding dengan kasih Ibu. Semoga Nadine bisa menjadi ibu yang baik seperti Ibu.” Lalu dengan terbaring Nadine memejamkan mata dan berdoa untuk ibundanya….

 

Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku

Dengan apa membalas?

Ibu…… Ibu……

 

THE END

***

Artikel ini diikutsertakan dalam Pagelaran Kecubung 3 Warna di newblogcamp.com