[15HariNgeblogFF2#day7] Biru, Jatuh Hati

:: hallo-hallo Bandung, kota kenang-kenangan..

Kinar menulis status di facebooknya. Sesaat kemudian muncul komentar dari sahabatnya.

“lagi di Bandung Kin?”

“Gilaaaaang…apa kabar??? Iya ni lagi di Bandung. Tapi Sabtu sudah balik Jogja lagi.”

“mampir Ciamis donk, kita kan belum pernah ketemu sejak kamu pulang dari Jepang. Nanti jalan-jalan ke Pangandaran deh…”

“waaa….mauuu…”

Gilang adalah sahabat Kinar sejak kuliah dulu. Dia tinggal di Ciamis, di kecamatan Pangandaran. Rumahnya tak jauh dari pantai Pangandaran, tinggal bersepeda saja sudah bisa menikmati panorama pantai dengan kapal-kapal nelayan yang menghiasi. Saat kuliah mereka sangat dekat, maklumlah satu kelas, satu organisasi, punya kecintaan yang sama selain musik, lukis, juga mendaki gunung. Klop sudah. Sejak kuliah mereka sudah saling berbagi cerita. Tak hanya Kinar, tetapi juga Gilang tak sungkan membagi kisahnya pada Kinar. Yah, mereka bersahabat, persahabatan antara laki-laki dan perempuan, yang konon tak pernah ada yang murni.

Kinar akhirnya memutuskan untuk ke Ciamis hari Sabtu. Bandung-Ciamis cuma 2 jam lebih sedikit dengan bis. Kinar sudah minta Gilang untuk membelikan tiket travel ke Jogja untuk Sabtu malamnya, supaya bisa sampai Minggu pagi dan bisa beristirahat di hari Minggu sebelum masuk kerja lagi Seninnya. Semua sudah beres. Gilang tak sabar ingin segera bertemu Kinar, begitupun Kinar. Pukul 1 lebih Kinar sampai di rumah Gilang. Ibunda Gilang sudah memasak berbagai masakan untuk menyambut Kinar. Kinar jadi tak enak hati, apalagi Kinar tak membawa oleh-oleh apa-apa untuk Ibu Gilang.

“Wah, neng Kinar cakep pisan ya sekarang, kurusan dibanding jaman kuliah dulu. Jepang bikin neng Kinar tambah putih ni..”

Begitu komentar Ibu Gilang begitu melihat Kinar. Beliau memang pernah bertemu Kinar dua kali. Pertama waktu Kinar dan teman-temannya main ke Pangandaran saat kuliah dulu. Rumah Gilanglah tempat mereka singgah dan menginap. Kedua waktu mereka wisuda. Kinar tak percaya ibu masih ingat padanya karna dulu Kinar gemuk sedang sekarang langsing (kalau tidak mau dibilang kurus).

“Ah, Ibu bisa saja. Masih seperti dulu kok Bu, cuma sekarang ndak banyak waktu buat susur pantai atau manjat yang bikin kulit hitam.” mereka berdua tertawa “Ibu kenapa musti repot-repot begini?”

“Ndak papa Neng, demi tamu agung Gilang” Ibu melirik Gilang dan tersenyum penuh isyarat.

Seusai bercengkerama bersama keluarga Gilang, mereka bersepeda ke pantai. Di antara pohon kelapa di tepi pantai mereka duduk dan menikmati birunya laut sambil berbincang.

“Berarti sudah berapa lama kamu di rumah Kin?”

“Dua bulan Lang. Tapi langsung dihujani banyak pekerjaan, plus ada proyek penelitian dengan teman di Bandung.”

“Kamu masih saja seperti dulu, selalu sibuk.”

“Ah, ndak juga kali Lang, buktinya masih bisa main ke sini.” mereka tersenyum. Jeda sesaat.

“Barra gimana kabarnya?”

“Sepertinya baik. Mau menikah dia.”

Gilang mengerutkan kening. “Sepertinya”? “Dia”?

“Dia? Kenapa tak kaubilang ‘mau menikah kita’, gitu to Kin?”

“Menikahnya bukan sama aku, gimana mau kubilang ‘kita’, to Lang?” kata Kinar sambil terkekeh.

“Maksudmu?” Gilang menatap Kinar lekat-lekat. Kinar menghela nafas, menundukkan kepalanya dan bermain-main dengan sepotong ranting yang tiba-tiba ditemukan di sampingnya duduk.

“Barra sudah memilih perempuan lain Lang. Tapi aku pun sangat mengerti, dua tahun kutinggalkan pastilah tidak mudah untuknya tanpa siapapun di sampingnya yang bisa menemaninya, merawatnya, mencintainya, dicintainya.”

“Tapi kalian kan…”

“Sudahlah Gilang… Dia pasti lebih tau apa yang terbaik untuknya. Aku pun yakin bahwa perempuan itu pastilah lebih baik dariku. Lagipula selama ini kami tidak pernah “resmi” berpacaran, hanya saling menyayangi dan mengisi, tanpa ada permintaan atau lamaran apapun darinya padaku. Karna itu ketika aku tak mampu lagi mengisi hidupnya, dia boleh mencarinya dari yang lain. Aku tak berhak apa-apa atasnya….”

“Kinar….” Gilang hanya mampu berbisik tanpa sanggup berkomentar apa-apa.

“Iya Gilang…” dan Kinar malah menyahutnya sambil bercanda.

“Kamu ini…akunya berempati malah kamu hahahihi.. Trus kamu gimana sekarang?”

“Sekarang?! As you see, i’m absolutely fine. Aku baik-baik saja Gilang.” Kinar tersenyum. Gilang meraih bahu Kinar, ditepuk-tepuknya sambil bergumam ‘kamu sungguh tegar Kinar’. Kinar memalingkan wajahnya menatap Gilang dan tersenyum. Dalam hatinya dia berterimakasih pada Tuhan, mengirimkan sahabat sebaik Gilang.

“Terimakasih ya…” Kinar berbisik pada Gilang dan Gilang mengeratkan pelukannya.

Di depan sana hamparan biru pantai Pangandaran masih menari-nari. Gilang membiarkankan Kinar merebahkan kepala di bahunya. Dia tahu betul, di lubuk hati Kinar ada luka yang teramat dalam meski bibirnya tetap tersenyum. Perempuan ceria dan tegar yang telah sejak lama diimpikannya. Gilang telah lama jatuh hati padanya.

Biru berganti jingga. Senja tiba. Kinar harus bersiap kembali ke Jogja.

——————–

Word count: 700

7th day of #15HariNgeblogFF2, horeee udah hampir setengah jalan… ^_^

23 thoughts on “[15HariNgeblogFF2#day7] Biru, Jatuh Hati

  1. LJ says:

    #enak ya si kinar, barra menikah, tapi kan ada gilang..
    #coba lihat tanti.. nanang menikah, gak ada siapa2
    #perih

    ๐Ÿ˜›

  2. anna says:

    saya juga udah baca cerita sebelumnya…
    owh jadi gitu toh.. ada kinar, kayla, barra dan gilang…
    ya ya…

    bisa dibikin serial ini T,,, ๐Ÿ™‚

  3. prih says:

    Jeng Tt kian mengalir ceritanya, tunggu pola berikutnya. Jaga kesehatan ya Kinar, sibuk banget dengan penelitian dan publikasinya (lho)

Leave a reply to prih Cancel reply